Kata kata indah masa kecil

Kata kata indah masa kecil

Kata kata indah masa kecil



Setiap orang, katanya, punya sahabat. Bahkan yang hidup sebatang kara pun, punya sahabat. Entah sahabat sesama manusia, dengan tanaman, hewan kesayangan, atau panci-panci di dapur lah sahabatnya.

Saya juga punya. Banyak. Eh, maksudnya, saya menganggap mereka sahabat, dan mereka menganggap atau tidak, itu tak penting.

Salah satu sahabat saya adalah dia, yang selama delapan tahun (dalam usia saya) tinggal bersama, berpisah tujuh tahun, kemudian bertemu lagi walaupun pertemuan kami tidak intens. Namanya Andami Fardela .

Saya memanggilnya dengan Niela. Gini, orang-orang memanggilnya Dela, dan karena dia lebih tua usianya tentu saya menaruh kata ‘Uni’ di depan namanya, lalu menghapus huruf ‘U’ dan ‘D’ .

Dia sebenarnya sepupu jauh saya dari keluarga papa. Beginilah orang minang, jauh atau dekat, semuanya saudara. Meskipun saudara jauh, kami akrab karena selalu bersama-sama sebab keluarga dia dan keluarga saya tinggal satu atap di kawasan Jakarta Timur.

Ketika saya kecil, saya senang berlarian di dalam rumah karena rumahnya buueeesaaaaaar sekali, sekitar ±500 meter. Bahkan terlalu luas untuk dua keluarga. Kami punya kebun besar di belakang rumah (mirip hutan kecil malahan), punya teras dan taman yang luas di depan rumah, punya tempat bermain di atap genteng yang datar, dan ada lima kamar, empat kamar mandi, dua dapur, dua tempat jemuran, satu ruang tamu dan satu ruang keluarga yang dihubungkan dengan lorong panjang. Dan kami memelihara banyak sekali kucing.

Sekitar 15 kucing sepertinya. Kesayangan saya namanya Si Manis. Kesayangan dia namanya Bleko. Ah, ingatan saya bagus sekali, ya ?? Padahal tinggal di sana hanya sampai umur delapan tahun. Mungkin karena saya terlalu bahagia tinggal di sana.

( Dia baju hijau, saya pink. Eh. Baju yang saya pakai desain-nya kakak saya, yang jahit bundo saya. Tebak, umur berapa kah kami di dalam foto tersebut? )

Kami punya banyak kenangan sejak kecil. Kenangan bodoh yang nggak pernah saya lupain. Mungkin dia sudah lupa. Dulu waktu usia saya enam tahun dan sedang bulan Ramadan, kami bermain kembang api bersama, di teras rumah.

Lalu, saya teringat kembang api yang meledak di udara dan itu indah sekali. Saya bertanya pada dia bagaimana caranya kembang api bisa seperti itu, sedangkan punya kita kok hanya ada di genggaman.

Niela bilang, “Lemparin aja ke atas.” Oh gitu. Yasudah, saya lemparkan kembang api yang sedang menyala, kemudian kami lari menjauh karena takut kena percikan api. Tidak ada kembang api yang meledak di udara, tapi kami melihat ada kobaran api yang membesar di atas atap rumah. Atap teras kami tidak tertutup, jadi begitu dilemparkan, kembang api-nya nyangkut di pilar kayu, dan membakarnya.

Semua keluarga, tetangga, bahkan tukang bakso pun ikut menyirami atap yang kebakaran karena ulah bodoh kami. Kami sendiri hanya mengumpat di ruang tamu, takut dimarahi. ??

Lain cerita, suatu siang kami suka sekali main di atas genteng. Gimana ya jelasinnya. Jadi ini tuh atasnya rumah, tapi tidak ada genteng, dan datar.

Tapi pijakannya semen. Nah, di kebun kami ada pohon jambu air yang sangat besar dan kalau berbuah, buahnya jatuh di genteng ini. Ayahnya Niela membuat tangga yang disandarkan dengan pohon jambu, dan papa saya membuat atas genteng itu jadi lebih aman untuk lahan bermain.

Tapi tempat ini rapuh, cuma bisa saya dan Niela yang naik, juga kucing kami bisa naik karena kami gendong untuk diajak main di atas. Jadi, sering sekali, ibu (sebutan untuk ibunya Niela) dan bundo (sebutan untuk ibunya saya) suka teriak-teriak menyuruh kami turun untuk makan.

Kami suka bersembunyi di atap ini kalau di suruh makan. Ya, sejak kecil -sampai sekarang- kami berdua malas makan. Sampai akhirnya kami akan turun sendiri karena kelaparan ??

Kebodohan lain, kami suka bermain lompat tali di depan teras. Tidak ada kebakaran, tapi kali ini lebih parah.

Kami bermain lompat tali dari pukul sembilan sampai jam dua belas dengan anak tetangga yang datang ke rumah. Ketika Adzan dzuhur berkumandang, Niela masih bermain lompat tali.

Ibu keluar rumah dan menyuruh kami berhenti bermain, harus sholat.

“Cepetan masuk! Kalau waktunya solat, ya solat. Jangan main. Nanti karetnya ibu putusin nih!”

Kata ibu. Bagi kami, ibu atau bundo, dua-duanya adalah orangtua kami. Perkataannya selalu kami ikuti, tapi untuk hari itu, tidak.

Saya sibuk menemangati Niela yang masih lompat tali. Niela pun tidak mau berhenti karena belum lompat sampai seratus kali. Tapi tak lama, dia terjatuh, dagu-nya membentur lantai, darah mengucur deras, dan lukanya masih membekas sampai dewasa.

Selang beberapa hari kemudian, di waktu maghrib, saya dan dia masih menonton film Nacha, Superwoman yang bisa terbang. Bundo bilang kalau maghrib nontonnya harus disudahi.

Kami menggeleng kompak. Setelah acara selesai, saya melakukan adegan tolol dengan loncat dari kursi duduk –berharap bisa terbang seperti Superwoman yang ada di televisi. Gantian, dagu saya yang sobek, mendapat puluhan jahitan.

Sejak itu, setiap waktu solat, kami berhenti bermain, atau menonton tv.


Foto tersebut ketika saya ulang tahun yang ketujuh. Baju oranye itu saya desain sendiri, dijahitkan oleh bundo.

Masing-masing memegang kado favorit. Yang tengah itu temannya kakak saya, tetangga kami. Setahun setelah ulang tahun saya, kami pisah rumah. Dia tetap menetap di Jakarta, dan saya ke Bogor.

Dia sahabat saya, keluarga saya, teman bercerita, teman jalan yang asik, teman sharing, dan segalanya. Apalagi sekarang dia sudah kerja, jalan sama dia makin menyenangkan karena makan sama ongkos dibayarin ?? Sesekali dia ke Bogor, seringnya sih saya yang ke Jakarta, menginap di rumahnya berhari-hari, mendengar ocehannya tentang Lee Min Ho.

Pada akhirnya, cerita panjang lebar ini nggak ada pesan moralnya, hanya menceritakan masa-masa indah semasa kecil bersama sahabat terbaik.

Kerasa banget sih, bedanya keluarga yang jadi sahabat, sama random person kemudian jadi sahabat. Saya nggak bisa jelasin bedanya, anda harus merasakan sendiri. Akur dengan keluarga itu menyengakan banget :))
Semoga sekali pun dia atau saya punya keluarga sendiri, kami masih bisa meluangkan waktu untuk berkumpul bersama. Kalau kamu, punya sahabat seperti apa?
READ MORE

SHARE THIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

X CLOSE
Advertisements
X CLOSE
Advertisements